Bagaimana Anak Menyerap Informasi?
Ditulis oleh Dien Nurrochmah, S.Psi.

Saya masih teringat momen ketika anak saya lahir ke dunia ini. Sebuah momen yang sangat berharga di dalam hidup saya dan tidak akan pernah saya lupakan. Pada saat itu saya berbaring di meja operasi dengan keadaan ruangan yang begitu dingin, rasanya saya ingin mengenakan selimut dan menutupi seluruh tubuh saya agar terasa hangat dan nyaman.
Saya menunggu dokter melakukan operasi caesar dan ingin segera melihat anak saya. Tak lama kemudian terdengar suara tangisan seorang bayi, bayi mungil yang saya nantikan kehadirannya ternyata sudah keluar dari perut saya. Dokter kemudian memperlihatkan anak saya kepada saya dan saya tidak dapat membendung air mata saya.
Mengenang kembali kejadian tersebut membuat saya jadi berpikir betapa terkejutnya anak saya pada saat itu. Kulitnya yang tiba-tiba saja merasakan udara dingin di ruang operasi, matanya yang tiba-tiba saja merasakan cahaya terang dari lampu, dan telinganya yang mendengar berbagai suara asing di lingkungan. Sebuah sensasi yang mungkin tidak nyaman ia rasakan pada saat itu sehingga membuatnya menangis.
Sejak lahir anak mulai berinteraksi dengan lingkungan melalui inderanya. Indera merupakan jembatan untuk anak mengenal lingkungan. Semakin anak bertambah usia, ia akan mulai tertarik melakukan eksplorasi lingkungan melalui inderanya. Beragam indera tersebut yaitu:
- Visual: untuk menyerap informasi visual seperti warna, kontras, kecerahan,dan berbagai stimulus visual.
- Auditory: untuk menyerap informasi auditory seperti tinggi rendahnya atau jauh dekatnya suara.
- Tactile: untuk menyerap informasi melalui sentuhan dari kulit kita, seperti merasakan temperatur udara yang ada di lingkungan termasuk getaran dan tekanan yang menyentuh tubuh kita.
- Olfactory: untuk menyerap informasi terkait bau yang ada di lingkungan kita.
- Gustatory: untuk menyerap informasi tentang rasa, seperti rasa manis, asin, asam, pahit.
- Vestibular: untuk mengontrol keseimbangan tubuh.
- Interoception: untuk merasakan bagian internal tubuh seperti ketika kita merasakan ada yang luka di dalam tubuh kita atau ketika kita merasa gatal di area tertentu dalam tubuh.
- Proprioception: untuk mengkoordinasi gerakan sehingga dapat bergerak bebas tanpa perlu melihat tubuh yang sedang digunakan. Misalnya dapat berjalan bebas tanpa perlu melihat kaki kita bergerak setiap langkahnya.
Β
Beragam indera yang anak miliki tersebut membuat anak tertarik melakukan eksplorasi di lingkungan. Sebagai contoh, pagi ini seperti biasa saya menemani anak saya jalan-jalan pagi. Ketika sedang berjalan, anak saya tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Saya penasaran apa kira-kira yang membuat dirinya tiba-tiba saja berhenti. Setelah saya dekati, ternyata ia sedang melihat seekor burung di dalam sangkar. Burung tersebut berwarna hijau dengan ekor yang berwarna merah. Ia terus memperhatikan burung tersebut sampai akhirnya ia mendekat. Burung tersebut mengeluarkan suara yang membuat anak saya semakin tertarik, bahkan ia sampai memegang sangkar burung tersebut. Kemudian ia bertanya kepada saya βburung apasih ini?β.
Stimulus visual dari lingkungan berupa burung hijau yang anak saya lihat ternyata membuatnya terdorong melakukan eksplorasi. Ia mendekat kemudian mendengar suara dari burung tersebut yang lagi-lagi menambah ketertarikannya. Hingga akhirnya tercetus lah pertanyaan yang berasal dari dirinya sendiri. Begitu ia mengetahui jawabannya, ia terlihat puas. Kemudian kami pun melanjutkan perjalanan pagi kami.
βEveryone has observed that the senses of the child are attracted by the environment. He is attracted by everything that touches his senses – brilliant colours, the sounds he can hear, and everything that he can touch.β
(Maria Montessori, Creative Development in the Child, p.62).
Berdasarkan hal tersebut saya menjadi sadar bahwa penting untuk kita sebagai orang dewasa mempersiapkan lingkungan yang mendukung agar anak dapat mengembangkan indera nya. Sayangnya pemahaman saya mengenai hal tersebut tidak saya sadari jauh hari sebelumnya. Saya sempat melakukan kesalahan ketika anak saya bayi. Pada saat itu saya jarang sekali membawa anak saya keluar rumah. Saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak saya di dalam rumah. Hal tersebut karena saya merasa khawatir anak saya akan sakit jika sering diajak keluar rumah, padahal pada saat itu pandemi pun sudah berakhir.

Hingga suatu saat ketika saya sedang berlibur ke Bali, saya berencana mengajak anak saya bermain di pasir. Namun ketika ia diturunkan di pasir, ia langsung menjerit kencang hingga selesai liburan pun ia masih belum mau menyentuh pasir. Dari situ saya mulai menyadari kesalahan saya yang tidak memberikan kesempatan anak berinteraksi dengan lingkungan sehingga indera nya pun tidak terstimulasi dengan baik. Saya pun perlahan-lahan mulai mengenalkan berbagai tekstur untuk menstimulasi indera peraba nya. Benar saja ketika ia terpapar dengan beragam tekstur yang ada di lingkungan, ia menjadi terbiasa dan tidak menunjukkan respon ekstrim seperti menjerit.
Ketika anak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan melalui inderanya, ia akan menegmbangnya sebuah impresi yang selanjutnya akan dikirimkan ke otak. Misalnya ketika anak saya mulai saya kenalkan dengan beragam tekstur di lingkungan seperti tekstur pasir, rumput, keset, batu-batuan,playdough,ia akan menangkap impresi tersebut dan mendapatkan informasi bahwa ada benda-benda yang memiliki tekstur lembut, kasar, keras, lengket, tajam dan lain sebagainya. Impresi tersebutlah yang juga membuat anak saya lama-kelamaan memahami bahwa benda-benda tersebut aman untuk disentuh.
βIndra adalah pintu bagi anak mengakses ilmu pengetahuan. Seluruh informasi yang diterima oleh otak anak berasal dari kemampuan indra anak menyerap berbagai impresi dari lingkungan.β
(Rosalynn Tamara, 365 Days Montessori, p. 289).
Namun ketika saya memberikan berbagai stimulus taktil tersebut sebetulnya tidak hanya impresi mengenai tekstur sajalah yang ia terima. Banyak sekali impresi yang masuk ke dalam otaknya. Misalnya ketika saya mengenalkan pasir kepada anak saya, ia akan menyerap impresi mengenai tekstur pasir, warna pasir, dan baunya. Terlebih ketika saya berusaha untuk mengenalkan perbedaan tekstur pasir dengan mengajaknya bermain pasir di rumah dengan bermain pasir di pantai, anak saya mungkin tidak akan fokus menangkap impresi terkait tekstur saja. Ia bisa saja menangkap begitu banyak impresi yang ada di lingkungan seperti adanya perbedaan warna pasir, keadaan cuaca ketika bermain pasir di rumah dengan di pantai, dan bau yang saat itu ia rasakan.
Kemudian akan timbul pertanyaan βtapi bukankah itu baik? Anak jadi mendapat beragam impresi yang masuk ke otaknya?β Pertanyaan yang juga sempat timbul dan benak saya. Tentu saja hal tersebut baik. Kita memang perlu memperkenalkan beragam tekstur, warna, bau, temperatur, dan berbagai stimulus sensory lainnya. Sehingga informasi terkait keberagaman tersebut akan masuk ke otaknya. Namun yang menjadi persoalan adalah kita sebagai manusia memiliki keterbatasan. Kita tidak menyerap informasi sebagaimana informasi tersebut disajikan. Sebagai contoh ketika saya mendengar suara burung merpati dan burung serindit, yang saya tangkap menjadi sebuah impresi adalah kedua suara tersebut tidak jauh berbeda dan saya akan mengkategorikan di otak saya sebagai βsuara burungβ. Padahal bagi yang gemar memelihara burung, kedua suara burung tersebut pastilah berbeda.
Sehingga yang perlu kita tanyakan kepada diri kita adalah informasi seperti apakah yang kita inginkan untuk anak kita tangkap masuk ke otaknya? Apakah cukup informasi yang bersifat umum saja atau anak juga perlu mampu menangkap informasi spesifik dari inderanya?
βTo know things is to know how to differentiate. This consciousness, capable of perceiving increasingly minute details, is the capacity of being able to differentiate.β
(Maria Montessori, The 1913 Rome Lectures, p. 221).

Memahami informasi secara umum tidaklah cukup untuk mengembangkan kecerdasan seseorang. Seseorang tidak akan mungkin menjadi juru masak atauchefjika ia hanya mampu membedakan secara umum rasa enak dan tidak enak. Saya sering melihat acara MasterChef di televisi dan saya sangat tertarik pada sesi penjurian. Melihat satu persatu kontestan menyajikan makanan dan mendengar bagaimana tanggapan dari juri-juri yang ada. Menariknya dari sekian banyak makanan yang mereka cicipi, mereka pasti memberikan tanggapan yang berbeda untuk masing-masing makanan. Jika saya berada disana mungkin tanggapan saya berkisar antara βenak bangetβ atau βlumayan lahβ. Itulah mengapa saya tidak menjadichef,karena saya tidak cukup pandai membedakan berbagai rasa pada makanan yang saya makan. Terkadang saya merasa makanan yang saya makan sedikit kurang βnendangβ tapi saya sendiri pun tidak tau rasa apa yang kurang, tidak tau apakah kurang asin atau perlu ditambah manis atau sedikit asam, hanya terasa kurang saja di lidah saya.
Jadi jika kita ingin anak mengembangkan kecerdasannya, kita tidak hanya dapat bergantung pada pengalaman alamiah saja. Pengalaman alamiah memang dapat membantu anak mendapatkan informasi dari impresi yang diterima indera, namun informasi tersebut belum tentu dapat menstimulasi indera tertentu secara spesifik. Oleh karena itu anak perlu sebuah edukasi agar impresi yang ia terima merupakan impresi yang jelas, spesifik, dan akhirnya anak mampu membedakan secara konkrit melalui inderanya. Edukasi tersebut adalahSensorial Education.
Sensorial education dalam Montessori terbagi ke dalam tujuh grup yaituvisual work, tactile work, olfactory work, gustatory work, auditory work, geometry work,dan algebra.Pada masing-masing grup terdapat beberapa aktivitas beserta materialnya yang memiliki tujuan tertentu untuk mengembangkan kecerdasan anak. Material-material dalamsensorial education ini memiliki karakteristik khusus agar impresi yang diterima anak benar-benar sesuai dengan tujuan kegiatan yang akan dilakukan.

Kita akan membahas langsung dari salah satu material yang menjadi favorit saya yaituKnobbed Cylinders. Material ini benar-benar di desain sedemikian rupa sehingga memiliki benar-benar mengisolasi kualitas tertentu dan mengeliminasi distraksi yang tidak dibutuhkan. Pada materialknobbed cylinders ini, setiap silinder memiliki warna yang sama dan terbuat dari bahan yang sama yaitu kayu. Perbedaan masing-masing silinder terletak pada dimensinya. Ketika anak bekerja menggunakanknobbed cylinders ini, ia dapat benar-benar menerima impresi adanya perbedaan dimensi pada masing-masing silinder tanpa terganggu dengan stimulus lain.
Selain isolasi kualitas tertentu, hal yang menurut saya paling menarik dariknobbed cylindersini yaitu adanyacontrol of error. Ketika anak melakukan kesalahan seperti salah memasukkan silinder pada lubangnya, anak dapat mengoreksi dirinya sendiri. Kita sebagai orang dewasa tidak perlu mengeluarkan komentar atau mengoreksi anak, karena melalui material ini anak dapat menyadari bahwa ada hal yang salah. Ia pun dapat belajar memecahkan masalah dari kesalahan yang ia perbuat.
Saya menganggap karakteristikcontrol of errorini sangat menarik karena dengancontrol of errorinilah anak dapat menyadari sendiri kesalahan yang ia perbuat. Kita semua pasti pernah melakukan kesalahan dan kesalahan merupakan hal yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan kita. Namun terkadang ketika kita melihat anak melakukan kesalahan, kita seakan lupa bahwa kita juga pernah melakukan kesalahan. Sehingga yang terjadi adalah kita terburu-buru mengoreksi kesalahan anak. Kita berpikir jika anak tidak dikoreksi maka bagaimana ia dapat menyadari bahwa dirinya salah. Padahal sebetulnya yang terjadi adalah anak menjadi tidak sadar akan kesalahannya karena ia terus menerus dikoreksi. Anak menjadi merasa bahwa bukan tugasnya lah untuk menyadari kesalahannya, itu semua merupakan tugas orang dewasa untuk mengoreksi dirinya.
βThe child must see for himself what he can do, and it is important to give him not only the means of education but also to supply him with indicators which tell him his mistakes.β
(Maria Montessori, The Absorbent Mind, p.236).
Melalui material sensorial, yang dalam pembahasan ini adalahknobbed cylinders, anak dapat menyadari kesalahannya sendiri dan dapat mengoreksi dirinya sendiri tanpa perlu bertanya kepada kita. Ia pun dapat melakukan repetisi untuk terus berlatih dari kesalahannya dan meningkatkan dirinya.

Material sensorial lainnya yang juga tidak kalah menarik adalahcolor box. Color boxterdiri dari tiga jenis (color box 1,2, dan 3). Materialcolor box ini menampilkan estetika yang sangat indah yang membuat anak tertarik untuk bekerja dengan material ini. Dari ketiga variasicolor box, saya akan membahas mengenaicolor box 3.Padacolor box 3,terdapat sembilan jenis warna yang masing-masing memiliki tujuh intensitas warna yang berbeda.
Saya masih ingat di salah satu pertemuan pada perkuliahan sensorial, kami diberikan kesempatan untuk membuat tujuh gradasi dari satu warna seperti halnya padacolor box 3. Pada saat itu saya berpikir bahwa hal tersebut akan sangat mudah dilakukan, hanya menambahkan komposisi warna putih yang berbeda saja pada setiap gradasinya. Namun ketika saya mencobanya ternyata tidak semudah itu. Saya pun sempat mengganti warna karena saya berpikir mungkin warna tersebut memang sulit untuk digradasikan. Setelah mengganti warna ternyata tetap saja sulit.
Melalui kegiatan ini saya jadi menyadari bahwa informasi terkait dengan beragam warna yang tersimpan di otak saya ternyata masih kurang spesifik. Saya masih kesulitan membedakan level intensitas dari suatu warna. Di lingkungan, kita dapat melihat berbagai warna dengan berbagai intensitas. Namun ternyata hal itu tidak serta merta membuat kita menangkap dengan jelas perbedaan intensitas warna yang ada di lingkungan.
Materialcolor box 3 merupakan solusi untuk menstimulasi visual anak terhadap warna. Pada material ini tersedia berbagai warna dengan gradasinya yang begitu indah. Material ini juga memiliki isolasi kualitas tertentu yang membuat anak hanya fokus pada perbedaan intensitas warna saja, tanpa ada distraksi dari perbedaan bentuk, suara, maupun kualitas lain dari objek. Sehingga anak dapat menangkap impresi yang jelas terkait gradasi warna yang diberikan. Impresi tersebut yang kemudian akan masuk ke dalam otaknya membentuk kecerdasan visualnya.
Melihat bagaimana menakjubkannya edukasi sensorial ini, jika tidak hati-hati bisa saja membuat kita memiliki ekspektasi yang tinggi pada anak. Kita bisa saja memaksakan anak untuk bekerja dengan material sensorial dengan harapan anak dapat mengembangkan kecerdasannya. Namun hal yang perlu diperhatikan ketika kita akan memperkenalkan material sensorial pada anak adalah kita perlu melihat kesiapan dan ketertarikan anak.Β

Saya jadi teringat ketika sebuah paket berupacolor box sampai di rumah saya. Pada saat itu anak saya sangat tertarik dengan material tersebut. Ia mengambil material tersebut, membukanya dan mengeluarkan semuanya keluar. Sebenarnya saya menyadari bahwa ia belum siap untuk menggunakan material tersebut, namun saya mencoba untuk melakukan presentasi material tersebut di sampingnya. Benar saja belum selesai saya mempresentasikan material tersebut, ia sudah mengacak-acak material yang disajikan. Ternyata ketertarikan saja tidak cukup untuk membuat anak dapat bekerja menggunakan material sensorial
Begitupun kesiapan tanpa adanya minat juga hanya akan membuat pembelajaran menjadi dipaksakan. Anak menjadi terpaksa mengerjakan pekerjaan yang tidak menarik minatnya. Bukankah kita ingin anak menyukai belajar? Tentunya hal tersebut dicapai bukan dengan memaksa anak untuk melakukan suatu kegiatan.
Edukasi sensorial bukan semata-mata kita menyiapkan material sensorial saja. Namun penting juga melihat bagaimana anak dengan kesiapannya tertarik bekerja dengan material tersebut. Tanpa adanya kesiapan dan ketertarikan anak maka semuanya percuma saja, edukasi sensorial pun tidak akan mencapai tujuannya.
βThe lesson is a call to attention. If the object meets the inner needs of the child and is something that will satisfy them, it rouses the child to prolonged the activity. He masters it and uses it over and over again.β
(Maria Montessori, The Discovery of the Child, p. 109).
Sebaliknya dengan adanya kesiapan dan dorongan di dalam diri anak untuk bekerja dengan material yang sesuai dengan kebutuhannya, maka anak akan merasa terpuaskan. Ia pun akan mengerjakannya berulang kali hingga ia menguasainya. Pengulangan terus menerus itu pun akan semakin mempertajam impresi yang anak terima dan kemudian dikirimkan ke otak untuk menjadi sebuah informasi yang jelas dan konkrit. Selanjutnya ketika informasi tersebut dibutuhkan, ketika anak perlu menggunakannya, maka ia dapat memanggilnya kembali dan akan tersajikan dalam bentuk yang jelas dan spesifik.
Sehingga jika kita ingin anak kita cerdas, maka jangan hanya fokus pada hasil. Jangan hanya fokus mengenai bagaimana anak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Jika kita hanya fokus akan hal tersebut, maka kita akan memburu-buru anak untuk dapat berhasil menguasai kemampuan tersebut. Kita mungkin akan memaksa anak duduk mendengarkan kita berbicara dan menyuruhnya menghafal angka dan huruf. Kita juga mungkin akan men-drilling anak mengerjakan soal-soalworksheetspadahal anak belum mendapatkan pembelajaran secara konkrit terkait angka, jumlah atau bentuk.
Kecerdasan itu bukan terbatas membaca, menulis, dan berhitung. Memahami mengenai bagaimana kita dapat membedakan suatu hal secara detail juga merupakan suatu bentuk kecerdasan. Seorang musisi yang mampu membedakan nada-nada musik dan peka jika ada satu nada yang melenceng, merupakan bentuk kecerdasan. Seorang pelukis yang mampu membuat karya seni dengan beragam intensitas warna yang berbeda, merupakan bentuk kecerdasan. Seorang pembuat parfum yang dapat mengenali jenis-jenis dan komposisi parfum hanya dari sekali mencium baunya, juga merupakan bentuk kecerdasan.
Semua itu hanya dapat dicapai jika kita mampu menstimulasi seluruh indera-indera kita. Sehingga jika kita ingin anak mengembangkan kecerdasannya, stimulasi lah seluruh inderanya. Seluruh indera yang terstimulasi akan membentuk sebuah impresi. Impresi tersebut kemudian akan dikirimkan ke otak menjadi sebuah informasi baru. Hal tersebut jika diulang terus menerus maka akan menghubungkan sinaps di otak anak dan membentuk kecerdasannya.
Namun kita perlu menyadari bahwa tidaklah cukup jika hanya mengandalkan pengalaman sehari-hari saja. Hal tersebut karena kita tidak benar-benar menyerap secara detail sebuah impresi dari pengalaman yang kita terima. Oleh karena itu kita perlu memfasilitasi anak dimana indera anak benar-benar fokus menangkap apa yang disajikan. Sehingga impresi yang terbentuk bukanlah βsekedarnyaβ melainkan impresi yang jelas, akurat, spesifik, dan konkrit. Hal tersebut dapat kita berikan kepada anak melaluiSensorial Education.