Pintar Matematika atau Pintar Menghafal?

Red Background With 123456789 Text Overlay

Beberapa waktu lalu, viral mengenai seorang anak berumur 21 bulan yang disebut pintar matematika. Hal ini karena anak tersebut mampu menyebutkan nama dari berbagai rumus matematika saat ia ditunjukkan kartu berisi rumus-rumus tersebut. Tentu saja banyak netizen yang kagum dan menginginkan anak mereka juga dapat menghafal berbagai rumus matematika sejak dini, dengan harapan hal tersebut mampu membuat anak memahami matematika di kemudian hari. Ibaratnya “kalo udah nyicil dari kecil kan jadi gampang nanti kedepannya.

Tapi apakah betul menghafal rumus matematika dapat membuat anak pintar matematika di kemudian hari? Banyak dari kita yang berpikir kunci untuk anak mampu memahami matematika adalah dengan menghafal. Itulah mengapa pembelajaran matematika berfokus pada hafalan, menghafal perkalian, pembagian, dan rumus-rumus matematika.

Namun jika kita lihat lagi ke belakang, kita sebetulnya belum tentu benar-benar memahami makna dari hafalan-hafalan tersebut. Ketika kita tidak memahami konsepnya, maka kita menjadi terpaksa untuk menghafalkannya.

“If instead we began to tell him what was found by other people two thousand years ago, and make him memorize these abstractions, the child would only be bored.”

(Maria Montessori, Creative Development in The Child, p. 97).

Boy Sitting on His Desk Looking Lonely

Hafalan-hafalan yang kita jejalkan kepada anak dan tidak benar-benar dipahami oleh anak, akan membuat anak merasa bosan. Saya sendiri termasuk orang yang merasakan bahwa matematika itu membosankan, bagaimana tidak, selama sekolah yang saya dapatkan ketika pelajaran matematika adalah hafalan.

Bahkan saya ingat ketika berada di bangku sekolah dasar, saya menghafalkan perkalian satu sampai sepuluh. Pada saat itu saya merasa“kenapa sih harus hafalin ini? Capek banget”. Saya menghafalkan perkalian tersebut selama beberapa hari dengan diulang terus menerus, tanpa saya benar-benar memahami maksud dari perkalian itu apa. Yang saya tau, saya harus menghafalnya. Benar-benar sangat membosankan.

Oleh karena itu untuk memudahkan anak memahami matematika, anak perlu mengerti konsepnya. Pemahaman mengenai konsep matematika akan menumbuhkan ketertarikan anak. Ketertarikan inilah yang penting untuk anak mau melakukan eksplorasi dan menerima pembelajaran matematika yang diberikan.

Namun yang menjadi permasalahan adalah untuk anak dapat memahami konsep matematika, prosesnya tidaklah mudah. Matematika adalah hal yang abstrak, sedangkan otak anak masih dalam proses perkembangan sehingga anak masih kesulitan untuk memahami konsep tersebut. Hal ini sejalan dengan teori kognitif Piaget, yaitu sekitar usia dua sampai tujuh tahun, anak berada pada tahapanpre-operational dimana anak mulai dapat berpikir secara simbolik namun masih kesulitan memahami konsep yang abstrak.

Berdasarkan hal tersebut, kita tidak bisa berharap anak dapat langsung menerima pembelajaran matematika yang diberikan, melainkan perlu ada persiapan terlebih dahulu agar anak mudah memahami konsep matematika yang abstrak. Hal yang paling mendasar sebagai persiapan anak memahami matematika adalah konsentrasi. Anak akan sangat kesulitan menerima pembelajaran matematika jika ia masih belum dapat fokus berkonsentrasi.

“The first essential for the child’s development is concentration. It lays the whole basis for his character and social behaviour. He must find out how to concentrate, and for this he needs things to concentrate upon.”

(Maria Montessori, The Absorbent Mind, p. 201).

Mother and Daughter Preparing Avocado Toast

Konsentrasi merupakan hal yang penting dimiliki oleh anak. Melalui konsentrasi, anak dapat menyerap berbagai stimulus dan impresi yang ada di lingkungan dengan mudah. Untuk dapat berkonsentrasi, anak perlu sesuatu yang menarik minatnya. Kita tidak bisa memaksakan anak untuk berkonsentrasi kepada sesuatu hal yang ia tidak minati. Sayangnya banyak dari kita yang beranggapan bahwa untuk anak dapat berkonsentrasi, maka kita perlu memberikan beragam aktivitas yang menurut kita menarik, bukan berdasarkan ketertarikan anak.

Scroll to Top